LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN SELATAN
Gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk.
Timbunan tersebut menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal. Pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir.
Gambut terbentuk ketika bumi menghangat sekitar tahun 9.600 Sebelum Masehi. Gambut yang terbentuk pada sekitar tahun tersebut dikenal sebagai gambut pedalaman. Seiring meningkatnya permukaan laut, terbentuklah gambut di daerah delta (daratan sekitar sungai) dan pantai. Berbeda dengan gambut pedalaman, gambut di daerah ini mengandung kandungan mineral dari air sungai dan pantai akibat pasang surut air laut dan air sungai.
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia memprioritaskan konservasi dan restorasi lahan gambut. Pada Januari 2016, Presiden Joko Widodo mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG). Pada November 2016, Badan Lingkungan PBB (UN Environment) dan para mitranya meluncurkan Inisiatif Lahan Gambut Dunia pada COP22 di Marrakesh. Dua lembaga (nasional dan internasional) ini bekerja di garis depan kebijakan dan lapangan dalam perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan lahan gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian Indonesia juga berkontribusi terhadap upaya tersebut.
Untuk dapat dimanfaatkan, lahan gambut harus dilakukan reklamasi yang diawali dengan drainase dan land clearing. Salah satu sifat gambut yang menyebabkan sulitnya
pengelolaan dan rehabilitasi lahan adalah irreversible drying atau non re-wetable. Oleh karena itu, sekali
mengalami kekeringan sampai tingkat tertentu maka gambut tidak bisa terbasahkan kembali. Hal ini
mengakibatkan volume gambut akan menyusut, sehingga akan mengakibatkan penurunan permukaan
tanah gambut (subsiden).
Dalam keadaan hutan alami yang tidak terganggu, lahan gambut merupakan penyerap (sink) CO2 .
Menurut Agus (2008), simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan
yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada serasah. Masing-masing simpanan karbon tersebut
dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau
panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya mempercepat emisi CO2 .
Kebakaran
dapat menurunkan simpanan karbon di jaringan tanaman dan di dalam gambut. Pemupukan dapat
meningkatkan emisi. Sebaliknya, pada lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, peningkatan muka
air tanah, misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat memperlambat
emisi.
Apabila hutan gambut terganggu, maka lahan gambut berubah fungsi dari penyerap menjadi
sumber emisi gas rumah kaca (Agus dan Subiksa, 2008). Gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan
(diemisikan) lahan gambut adalah CO2 , CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut CO2 merupakan GRK terpenting karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah
berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Jumlah emisi dari tanah gambut untuk
selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut.
0 komentar:
Posting Komentar